Ketertarikan filsafat kontemperer mengupas persoalan pribadi manusia, jarang menyinggung situasi
historis (proses kejadian manusia) sehingga kita agak sukar memahami apa dan bagaimana esensi diri yang
sebenarnya. Namun Al Qur’an telah membuka pintu bagi kajian pribadi manusia secara
berurutan hingga kesadaran yang universal.
Tanpa terikat dengan aliran
tertentu, manusia termotivasi untuk membicarakan eksistensi dirinya –yang keberadaannya
laksana terdampar begitu saja ketika dihadapkan pada suatu persoalan. Manusia yang
dhaif dalam memaknai dirinya akan kehilangan arah dan fokus mengenai dirinya.
Berorientasi
pada historis dan psikologis kemudian berubah menjadi suatu pertanyaan filosofis
yang segera membutuhkan jawaban; seperti siapa aku? Apa tujuan hidupku? bagaimana
kebahagian dan harapanku? mengapa aku ada dan kenapa aku diadakan?.......dsb.
Mengemukanya ‘keluhan jiwa” tentang diri pada manusia berarti telah
mempresentasikan hakikat manusia, kebebasan dan tanggung jawab. Karena itu
benar pernyataan ‘ulama (orang alim) bahwa, “siapa yang mengenal atau tahu dirinya,
maka ia akan tahu Tuhannya”. Raga (fisik) manusia memang termasuk dalam derjat
yang paling rendah. Dan ruh manusia itu termasuk dalam derajat yang tertinggi.
Dikatakan terendah karena penciptaan manusia yang berasal dari lumpur yang
hitam yang diberi bentuk (proses awal penciptaan manusia). Dan fase berikutnya
(penciptaan kita) adalah melalui tetesan mani yang bercampur dengan sel telur. Dan ruh
manusia dikatakan tertinggi derajatnya, karena setelah Allah sempurnakan bentuk
raga manusia dengan meniupkan ruh ke dalamnya, maka manusia menjadi makhluk
yang paling sempurna hingga Allah memerintah malaikat dan iblis untuk tunduk
kepada manusia (Adam). (lihat QS. Al hijr: 28-29).
Hikmah yang terkandung dalam
proses penciptaan manusia yang ditentang oleh malaikat dan iblis adalah
manusia diberi tugas oleh Allah untuk mengemban amanah pengetahuan tentang
Allah. Karenanya, untuk keperluan embanan amanah Allah, manusia harus memiliki kekuatan
dalam dua dunia ini (ruh dan raga), sebab tidak sesuatu pun di dunia ini yang memiliki
kekuatan yang mampu mengemban beban amanah.
Jadi, karena ruh manusia berkaitan dengan
derajat tertinggi dari yang tinggi, jadi tidak satu ruh pun dialam semesta ini
yang menyamai kekuatannya –entah itu malaikat ataupun iblis, sekalipun atau
segala sesuatu makhluk ciptaan Allah yang lainnya.
Analisis ini mampu menjelaskan soal
hakikat diri manusia yang sesungguhnya, dimana manusia sebagai makhluk yang
sangat lemah dan hina, namun disisi lain dinobatkan sebagai pengemban amanah(khalifah) oleh Allah sehingga menjadi mulia
(lihat QS. Al Baqaraah: 30). Sementara para makhluk yang lain tidak melihat adanya aspek
yang paling rendah dalam diri manusia, sedangkan ia terhijab oleh ketinggian
derajat manusia yang berasal dari tiupan (ruh) Ilahi. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar