Dalam kehidupan ini jika dianalsis secara lebih dalam bahwa setiap detik, menit, waktu dan saat kita
sering mengalami kondisi jiwa yang tidak stabil dalam menghadapi beragam
situasi dan kondisi yang mengenai kita. Terkadang kita dihinggapi
suasana yang cukup menyenangkan, namun tak jarang juga dalam waktu
bersamaan kita dihadapkan pada situasi yang sangat cemas dan tegang.
Seseorang yang terbelenggu dengan sifat amarah, emosi dan gejolak jiwa akan sulit berpikir sehat nan jernih. "Mensana incomperensana"
kata orang Yunani; dalam tubuh yang sehat terdapat pikiran yang
sehat pula.
Namun bila dikaji lagi dari sisi psikologi islami --sesungguhnya kondisi kita bukanlah persoalan karena tidak
sehat fisik atau psikis, namun lebih kepada pemanjaan
akan kebutuhan-kebutuhan nafsu kita sehingga situasi dan kondisi diri kita menjadi
tidak stabil. Salah satu Implikasinya, kita sering mencak-mencak, marah-marah atau
berkata tidak keruan alias ngawur entah kemana-mana --yang dalam kacamata agama dianggap menyimpang.
Padahal Al Qur'an memperingatkan umat manusia pada umumnya, dan kaum muslimin khususnya bahwa, "Dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Allah Menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan." (QS. Ali Imraan: 134).
Bilamana pembicaraan Al Qur;an demikian, ini
bermakna bahwa Allah tidak menyukai orang-orang yang sukai melampiaskan
hawa nafsunya dalam bentuk emosional, marah-marah atau semena-mena
terhadap kaum muslimin lainnya. Orang-orang
yang memperturutkan hawa nafsunya adalah orang-orang yang tidak tenang
dalam hidupnya.
Gejalanya bisa ditilik dari sering marah-marah atau
emosional dalam menghadapi keadaan yang mengenainya. Nafsu mengajak
manusia untuk selalu melakukan maksiat dan kejahatan, seperti iri,
dengki, hasut atau fitnah dan lain sebagainya. Nafsu menjadikan manusia
merasa lebih tinggi (over acting) dalam berbagai dimensi dan ruang.
Tengok saja orang-orang disekeliling kita, dalam masyarakat kita atau di negara kita bagaimana perihnya perilaku, tindakan, perbuatan atau sikap kemaksiatan mereka terhadap keluarganya, sahabatnya, bawahannya atau masyarakatnya ketika mendapatkan tahta dan harta. Kondisi ini sesungguhnya akibat ajakan nafsu yang kuat sehingga orang tidak pernah sadar akan kondisi dirinya.
Nafsu
selalu membisikkan manusia untuk selalu 'ujub, takabbur dan riya'.
Ilustrasinya, begini saja: berapa banyak dari kita yang suka membangga-banggakan diri akibat
sedikit mengetahui sesuatu hal atau karena diberikan sempurna fisik oleh
Allah dengan dihiasi kecantikan, wajah rupawan atau kelangsingan tubuh
yang gemulai.
Tidak sedikit pula orang sering sombong dengan kepandaian,
kekayaaan dan jabatan yang disandang manusia dalam kehidupannya
sehingga melihat orang lain sebelah mata dengan senyuman sinis. Tak
jarang pula manusia lupa diri yang asyik dalam pesta kegembiraan ketika
mendapatkan hadiah atau menerima sesuatu yang diharapkan, hingga lalai
dalam mengerjakan perintah Allah.
Tendensi-tendensi
ini menampilkan bahwa nafsu sangat kuat menguasai diri manusia agar
terlelap dengan jalan menuju Allah. Bagi pribadi muslim, mengalahkan
hawa nafsu dan menahan diri dari amarahnya merupakan tujuan utama dalam
menggapai rahmat Allah. Oleh karena itu, upaya menahan diri dalam
bertindak, berbuat dan bersikap adalah karakter utama seorang mukmin
sejati dalam mengarungi kehidupan dunia ini hingga ajal menjemputnya.
Karenanya jalan-satu-satu mendapat rahmat dan kasih sayang Allah adalah dengan memperbanyak kebajikan, meredam hawa nafsu dan menyingkirkan sifat sombong, dengki, dendam, kebencian dan sakit hati pada orang lain (muslim) meskipun orang lain itu tidak kita senangi atau pro terhadap kita. [*]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar